Sabtu, 18 Januari 2014

CERPEN



ARTI SEBUAH NAMA ( EDISI CERPEN )

Sinopsis : Memiliki teman sekolah yang rumahnya jauh kadang membuat kita ingin mengunjunginya. Begitu juga dengan Reza, Fadil dan si anak Jepang yaitu Daiki. Mereka pun memutuskan untuk mengunjungi rumah Ikhsan. Namun kenyataan unik mereka jumpai di desa tempat tingga Ikhsan tinggal.

Ahad pagi itu tak seperti biasa, desa Alaslintang yang biasanya sepi dan tenang, menjadi ramai oleh sekitar 300 an rombongan manusia yang datang ke desa itu menggunakan beberapa buah bus pariwisata. Menariknya rombongan itu adalah rombongan orang-orang Jepang. Mau apa mereka?

Sejak tahun 1990 an, seperti sudah menjadi tradisi, hampir setiap 5 tahun sekali pasti ratusan orang Jepang datang mengunjungi desa itu. Hal ini terkait sejarah masa lalu desa ini dimana Kyai Hassan yang telah melakukan perang besar melawan tentara Jepang, saat jaman penjajahan bangsa matahari terbit itu di Nusantara.

Di sana di hutan di lereng gunung, ada kuburan massal tentara Jepang yang terbunuh, ada kurang lebih 200 san jasad tentara Jepang dikubur massal oleh para pejuang dalam suatu lokasi yang disebut “Kuburan Jepang” oleh penduduk desa Alaslintang. Tentara-tentara Jepang itu adalah anak buah Kapten Yamaguchi Suichiro yang menyerang posisi pejuang desa di hutan lereng gunung, namun dijebak oleh pasukan pejuang pimpinan Kyai Hassan, dan banyak sekali yang terbunuh, hingga tersisa 10 tentara saja. Nah 10 tentara inilah yang ditangkap oleh para pejuang, namun diperlakukan dengan baik, dan akhirnya 10 tentara Jepang ini masuk Islam dan tinggal di Desa Alaslintang, tanpa kembali ke Jepang lagi.

Termasuk Kapten Yamaguchi Suichiro, yang mengganti nama menjadi Mujahid, Takashima Eiji yang berganti nama menjadi Langgeng, Fujiwara Ichiki menjadi Syahid dan lainnya, mereka semua adalah Kakek Reza dan Fadil serta ratusan anak desa Alaslintang lainnya. 9 mantan tentara Jepang ini juga sudah meninggal dan dimakamkan secara terhormat di pemakaman desa sebagai seorang muslim.

Tentu saja dalam catatan sejarah orang-orang Jepang ini, 10 tentara Jepang itu dinyatakan hilang dan tidak ditemukan jasadnya.

Orang-orang Jepang ini jelas mau melakukan wisata ziarah ke kuburan massal di sana. Mereka semua adalah keluarga atau orang-orang yang masih memiliki pertalian darah dengan tentara Jepang yang dikubur massal di sana. Mereka juga seakan berwisata gratis menikmati keindahan desa Alaslintang, tak heran mereka juga berfoto-foto dengan lebay dan narsisnya.

5 tahun yang lalu Mbah Langgeng masih sempat menjadi pemandu orang-orang Jepang ini, tanpa dia memberi tahukan identitas aslinya. Namun kini beliau sudah semakin renta dan sudah tidak begitu kuat untuk memanjat jalanan yang menanjak menuju hutan.

===========================

Bagi penduduk desa Alaslintang ini, orang-orang Jepang ini hanya merusak pemandangan dan mood mereka saja. Itu karena cewek-cewek dan wanita-wanita muda yang ikut rombongan itu berpakaian seksi dan mengumbar aurat, kontras sekali dengan gadis-gadis desa Alaslintang yang senantiasa berkerudung ketika keluar rumah. Namun bagaimana pun para penduduk tetap menunjukkan keramah tamahan dan etika kesantunan kepada tamu-tamu tak diundang ini.

Reza dan Fadil berdiri di antara kerumunan orang-orang Jepang di sana, dua anak yang masih kelas 1 SMP ini juga tidak peduli dengan anak-anak Jepang seusia mereka yang berseliweran lari-lari, bermain dan bercanda di sekitarnya.

Reza dan Fadil tidak menganggap penting anak-anak Jepang di depan mereka, walaupun mereka juga sedang menunggu seorang anak Jepang juga, dia adalah teman mereka di sekolah yang tinggal di kota Kabupaten. Tentu anak Jepang ini istimewa sehingga mereka perlu menunggunya.

Dari kejauhan sebuah Koprades berwarna merah datang, dan berhenti, dari dalamnya turun seorang anak bermata sipit, berkulit putih, dan berambut lurus oriental dengan poni menutupi jidadnya. Yah anak Jepang inilah yang Reza dan Fadil tunggu, dia adalah Daiki.

“Daiki....!!!!”, Fadil berteriak memanggil anak itu, seketika itu juga ada sekitar 3 anak Jepang yang bernama Daiki menoleh ke arah Fadil, namun mereka segera kecewa karena Fadil tidak menoleh ke arah mereka.

“Eh Za, ada apaan nih kok rame banget?”, Daiki heran dengan ratusan orang yang memenuhi jalanan desa.

Reza segera menceritakannya, Daiki pun akhirnya tahu tentang masa lalu desa ini. Namun tetap saja Reza dan Fadil tidak menceritakan 10 tentara Jepang yang masuk Islam, bagi Reza dan Fadil itu belum saatnya Daiki tahu.

“Kita jalan sama-sama orang-orang Jepang ini aja, mereka sejalan sama kita kok, biar rame-rame gitu”, Reza menyarankan.

“Oke..”, Daiki menyanggupinya.

Ketika rombongan orang Jepang ini mulai berjalan kaki ke arah hutan, Reza, Fadil dan Daiki pun ikut bersama mereka.
Sesekali Reza, Fadil dan Daiki mengajak ngobrol anak-anak Jepang di sekitar mereka, tak diduga anak-anak ini senang diajak ngobrol oleh mereka. Reza dan Fadil memang mudah akrab dengan siapapun.

Mereka terus berjalan menuju hutan, dan berhenti di sebuah tugu monumen yang bertuliskan huruf Kanji dan Hiragana, di belakang tugu itulah kuburan massal tentara Jepang berada dan sekarang sudah disemen bagian atasnya. Selama ini Reza dan Fadil tak bisa membaca tulisan itu.

“Daiki kun, Kono moji o yomu koto ga dekimasuka ?/ 大辉くん、この文字を読むことが出来ますか?”( Daiki, kamu bisa baca tulisan ini ? ), Fadil bertanya kepada Daiki

“Koko ni ichiban Nihon no eiyuu ga nemutte imashita / ここに一番日本の英雄が眠っていました”

“Di sini terbaring pahlawan-pahlawan terbaik Jepang “, Daiki membaca dan menterjemahkannya

“Pahlawan???”, Reza bergumam dengan sinis, Daiki tersenyum.

Tak perlu berlama-lama, mereka segera meneruskan perjalanan meninggalkan para peziarah Jepang yang sedang mempersiapkan ritual doa berdasarkan kepercayaan Shinto itu. Namun

“Hoey, chotto matte, doko e iku n desuka ? / ほえ。。ちょっと待って、どこへ行くんですか?” ( Hai, tunggu, mau ke mana kalian ?), seorang pria tiba-tiba mencegah mereka. Tentu pria ini menganggap Reza, Fadil dan Daiki bagian rombongan.

“Gomen, karera wa kono mura no jinkou desu / ごめん、彼らはこの村の人口です” ( Maaf, mereka itu penduduk desa sini ), Mas Ridwan yang menjadi pemandu para peziarah Jepang ini menjelaskan kepada orang Jepang itu. Mas Ridwan adalah pemuda asli desa Alaslintang yang kini bekerja sebagai pemandu tour wisata di Jakarta.

Orang Jepang itu hanya mengangguk dan sedikit bingung. Reza, Fadil dan Daiki tertawa geli dan meneruskan perjalanan. Mau kemana mereka ?.

Mereka pun terus menelusuri jalan menanjak di depan mereka, sampailah mereka di perbatasan desa Alaslintang dengan desa Karangduren. Desa Karangduren pun tak jauh berbeda dengan desa Alaslintang, yaitu makmur, walaupun desa Karangduren termasuk desa terpencil, umumnya karena buah duren sangat melimpah di desa ini. Mereka pun terus berjalan sampai mereka memasuki perkampungan penduduk di sekitar jalan, mereka pun disambut anak-anak desa itu dengan bersuka cita. Mereka berlarian mengikuti Reza, Fadil dan Daiki.

“Reza, Fadil arep pada maring endi koh?, dolan gonku yuh met duren “ ( Reza, Fadil, mau kemana?, yuk main rumahku, metik duren ), Bagas, anak laki-laki seusia Reza dan Fadil bertanya, beberapa anak lainnya juga mengikuti mereka dari belakang. Anak-anak ini senang sekali Reza dan Fadil datang, dan mengira akan bermain dengan mereka.

“Anu Gas, arep gone kancane kana nang Desa Alaspeteng” ( Anu Gas, mau ke rumah temen di desa Alaspeteng ), Reza menjelaskan.

“Laahhh....ngapa nganah-nganah “ ( Laah, ngapain kesana ), Bagas dan anak-anak kecewa, mereka juga tak habis pikir, ngapain main jauh-jauh sampai desa Alaspeteng, desa terpencil di tengah hutan itu. Desa yang kurang bersahabat. Bukankah desa Karangduren sedang musim panen duren, mereka bisa minta duren gratis di sini, atau kalau mau berenang di sungai pun, sungainya tak kalah jernih dengan sungai di desa mereka.

Reza, Fadil dan Daiki terus berjalan meningalkan anak-anak desa Karangduren itu, sementara Bagas dan anak-anak lainnya hanya melihat mereka dengan kecewa. Mereka terus berjalan menelusuri kebun duren di kanan kiri jalan milik penduduk yang lebat buahnya. Deret berderet pohon-pohon duren pun akhirnya habis, jalanan kini menjadi lebih sulit medannya. Kanan kiri hanya semak belukar tak bertuan.

“Huuufff...masih jauh ya Za?”, Daiki sudah sedikit kepayahan, peluhnya sudah membasahi leher kaosnya. Mereka berhenti sejenak untuk meminum air yang mereka bawa.

“Bentar lagi sampai batas desa, sudah dekat kok”.

Mereka terus berjalan, dan sampailah mereka di sebuah desa yang kurang menarik, berantakan, kumuh, miskin dan kurang bergairah. Inilah Desa Alaspeteng. Desa miskin, terpencil di puncak pegunungan, dan terletak bersebelahan dengan desa Karangduren.

“Gung, Ikhsan nang umah ora ? “ ( Gung, Ikhsan di rumah gak ? ), Reza bertanya kepada seorang anak laki-laki kurus tak berbaju, berkulit coklat kehitaman yang kering, busik dan dekil.

Nama anak laki-laki ini bukan Agung, tapi Pegung Nalima. Nama yang sangat aneh bagi penduduk Jawa tentunya, Pegung Nalima adalah singkatan dari Pereng Gunung Anak Kelima ( Lereng Gunung anak kelima ) atau kurang lebih artinya anak kelima dari lereng gunung. Reza juga melihat anak-anak lain, dan Reza tahu nama anak-anak itu, mereka adalah Naklir Lasteng ( Anak lahir di alas tengah ( Hutan Tengah ), Calang Delon ( Bocah lanang sekang desa kulon / anak laki-laki dari desa barat ). Anak-anak dekil itu segera menyingkir melihat ada anak dari desa lain, umumnya mereka malu dan minder dengan nama aneh mereka.

Akhirnya Reza, Fadil dan Daiki bertemu dengan Ikhsan, teman sekolah mereka di SMP Islam Air Emas di kota kabupaten. Mereka sangat kagum dengan perjuangan Ikhsan pergi ke sekolah yang harus ia tempuh selama lebih dari 1 jam setiap harinya. Ikhsan setiap harinya menuntun sepeda menuruni jalan yang menurun sejauh 2 Km lalu setelah sampai desa Alaslintang dia baru mengayuh sepedanya ke kota kecamatan, serta lalu menaiki angkutan umum ke kota Kabupaten, tidak kurang 1 jam 15 menit dia menempuh perjalanan ke sekolah.

Ketiga sahabat Ikhsan itu pun bertanya kenapa anak-anak dan orang-orang di desa Alaspeteng itu namanya aneh-aneh.

================

Desa Alaspeteng adalah desa yang unik, terutama nama-nama penduduknya yang aneh-aneh menurut pandangan dan budaya masyarakat Jawa saat ini pada umumnya. Umumnya ketika penduduk desa ini memberi nama anaknya itu dengan asal njeplak dan tak peduli, yang penting ada namanya saja.

Misalnya, ada seorang perempuan yang mau melahirkan dan dibawa ke tempat dukun beranak melewati hutan untuk memotong jalan, namun keburu melahirkan di tengah hutan itu, maka anak itu akan diberi nama Lir Lasteng ( Lahir di Alas Tengah ( Hutan Tengah ) ). Atau anak pertama yang lahir di rumah dengan lokasi di sebelah barat sungai, maka akan diberi nama Mbarep Lonli ( anak pertama / mbarep yang lahir di kulon kali / barat sungai ), anak kedua pun akan diberi nama Nakro Lonli ( anak keloro / kedua dari kulon kali ) dan lainnya.

Ini berawal dari kepercayaan animisme yang masih dipegang erat oleh sebagian besar masyarakat desa ini. Kepercayaaan ini biasa disebut “Ajidul” ( Awitan Wiji Gandul ), mereka mempercayai bahwa biji-biji pepaya ( gandul ) itu memiliki kekuatan mistis yang berasal dari roh-roh nenek moyang mereka. Sebenarnya Islam sudah masuk ke desa ini, namun ya hanya sebatas KTP saja, mereka umumnya tidak sholat, puasa dan ibadah lainnya.

Salah satu ajaran Ajidul, mewajibkan kepada penganutnya agar memberi nama anak itu sesuai dengan kondisi alam tempat tinggal mereka, seperti tengah hutan, sebelah barat sungai, desa barat, gunung tinggi, puncak gunung. Maka jangan heran ketika nama-nama anak di sini terdengar aneh-aneh. Jadi jangankan nama-nama Islami, nama Jawa yang bagus-bagus saja, seperti Bagas, Dimas, Candra, Damar, Sasongko dan lainnya tak akan terdengar di desa ini. Karena jika aturan pemberian nama itu dilanggar maka mereka percaya bahwa anak yang diberi nama itu akan mendapat “supat” atau kutukan, entah si anak meninggal tiba-tiba, sakit-sakitan atau lainnya.

Namun pemberian nama yang aneh itu justru berdampak negatif terhadap anak-anak desa itu sendiri. Mereka menjadi minder jika harus bergaul dengan anak-anak dari desa lain yang memiliki nama yang bagus-bagus. Akibatnya kebanyakan dari mereka tidak bersekolah, kalaupun bersekolah hanya tamat SD saja dan tidak akan meneruskan ke SMP. Otomatis minat belajar anak-anak desa ini sangat rendah.

Karena tingkat pendidikan rendah, otomatis kemiskinan pun merajalela, mereka tidak tahu cara menanam duren yang baik sebagaimana penduduk desa Karangduren di sebelahnya, padahal duren seharusnya menjadi komoditas andalan di desa ini. Atau dalam inovasi-inovasi lain untuk mencari mata pencaharian. Penduduk desa lain pun enggan untuk berhubungan dengan penduduk desa ini, apalagi menikahi gadis-gadisnya.

====================

Namun tradisi pemberian nama yang aneh itu akhirnya pun didobrak oleh penduduk desa itu sendiri. Yaitu oleh dua pasangan pengantin baru yaitu Larep Laslon dan Cadon Nyuning. Larep Laslon ( Lanang Mbarep sekang alas kulon / laki-laki sulung dan hutan barat ) dan Cadon Nyuning ( Cah wadon banyune bening / anak perempuan airnya jernih ) akhirnya menikah. Konon si perempuan yaitu Cadon Nyuning ketika lahir membawa berkah yaitu air sumur yang tadinya keruh menjadi jernih, sehingga ia diberi nama banyu bening.

Walaupun mereka penduduk desa Alaspeteng, namun mereka sempat mengenyam pendidikan hingga lulus SMA, yah mereka adalah penduduk desa yang mempunyai pendidikan paling tinggi diantara lainnya.

Mereka juga tahu agama, dan tahu bagaimana memberikan nama kepada anak-anaknya kelak. Maka ketika anak laki-laki pertamanya lahir mereka pun memberikan nama yang istimewa dan lain daripada yang lain, yaitu

“Ikhsan Nur Ibnu Fatah”, yang artinya Ikhsan cahaya anak pembuka.

Sebuah nama yang baru kali itu terdengar diantara penduduk desa. Kontan saja, pemberian nama itu dikecam oleh hampir semua penduduk desa. Bagi mereka pasangan suami istri ini benar-benar telah merusak tradisi nenek moyang yang merupakan kearifan lokal. Mereka dianggap orang aneh dan sudah kurang waras. Nama Ikhsan itu pun dianggap nama sial.

“Lah kae si Larep gawe sial tok...kemlitak temen aweh jeneng kae “ ( Lah itu si Larep bikin sial aja, sok amat ngasih nama kaya gitu ), seorang pria setengah baya terlihat kesal dengan kalakuan Larep.

“Bener kue, kang, bakale kae anake, tek jamin sial, mesti kue, sial, ora bakal sue kae umure, telung tahun tek jamin mati kae anake” ( Betul itu kang, itu anaknya bakal sial, saya jamin itu, pasti itu, sial, gak bakalan lama tuh umurnya, tiga tahun pasti mati itu anak ), Woter Gungwur ( Wong pinter sekang gunung duwur / orang pintar dari gunung tinggi ) berkomentar seolah dia itu Tuhan, dia adalah dukun desa.

“Iya-iya, kudune kae anake dijenengi Calang Miring, bocah lanang lahir nang musim garing “ ( iya-iya, harusnya anaknya dikasih nama Calang Miring, anak laki-laki lahir di musim kering ), laki-laki yang satunya lagi pun ikut berkomentar.

Keluarga Larep dan Cadon pun sedikit di jauhi, walaupun itu tidak lama.

Namun seiring waktu berjalan, Ikhsan tumbuh menjadi anak laki-laki yang istimewa dibanding anak lainnya. Dia cerdas, multitalenta, dan tampan. Tubuh anak ini pun sehat, kulitnya sehat dan berwarna cerah dibandingkan anak-anak lain seusianya yang terlihat kusam, kurang gizi, dan terbelakang.

Ikhsan selalu menjadi nomor satu di beberapa hal. Dalam membaca Al Quran tentu anak ini nomor satu, masjid kampung yang tadinya sepi, kini pun semakin rame karena anak-anak mulai mau menyentuh masjid sejak ada Ikhsan di sana. Dalam berenang di sungai, Ikhsan juga nomor satu, tak ada anak kampung lain yang mampu mengalahkan kecepatan berenangnya, karena anak lain juga kurang gizi tentunya. Dalam prestasi sekolah, Ikhsan juga selalu ranking 1, bahkan selisih nilainya dengan yang rangking 2 pun bagaikan langit dan bumi.

Ikhsan tumbuh menjadi anak yang percaya diri, dia tidak malu bergaul dengan anak-anak desa lain, termasuk Reza, Fadil dan lainnya. Setelah lulus SD, anak ini pun bersekolah di kota Kabupaten yaitu di SMP Islam Air Emas, bersama Reza dan Fadil.

Melihat kenyataan tentang sosok Ikhsan yang sangat berbeda dengan anak-anak kampung lain seusianya, kini mulailah penduduk desa Alaspeteng meninggalkan tradisi pemberian nama asal njeplak kepada anak-anak mereka. Mereka pun akhirnya memberikan nama yang bagus-bagus kepada anak-anak mereka yang lahir. Walaupun generasi tua sempat menolak, namun setelah mereka melihat realita sosok Ikhsan mereka pun akhirnya paham, dan mulai mengijinkan anak-anak mereka memberi nama cucu-cucunya dengan nama yang bagus dan indah. Yah nama itu adalah doa.

==============================

Setelah puas memakan sebuah durian besar, Reza, Fadil dan Daiki pun pamit pulang karena hari sudah siang. Mereka akhirnya tahu kenapa anak-anak di desa Alaspeteng mempunyai nama yang aneh-aneh. Mereka berjalan dengan saling bercanda terkait nama-nama aneh itu.

“Hehe...kok kalau dipikir-pikir, nama orang-orang desa Alaspeteng itu kaya nama Jepang yah?”, Fadil mulai iseng

“Maksude apa Dil?”( Maksudnya apa Dil ?), Reza bingung.

“Lha iya, misal Delon, Desa Kulon, itu Nishimura, Lonli, Kulon Kali itu Kawanishi, Gungwur, Gunung Duwur, itu Takayama, Lasteng, alas tengah itu Nakamori”, Fadil memang kalau iseng pasti kreatif.

“Oh iya...hahahahahahaha...”, Reza tertawa, Daiki menunduk, ia sedikit kurang berkenan dengan candaan kedua temannya ini.

“Yamaguchi, cangkem gunung ( mulut gunung ), sing nggo metu lahar ( yang buat keluar lahar )...hahahaha”, Reza ingat nama asli kakeknya, Yamaguchi Suichiro.

“Nek Fujiwara keren Za, bunga wisteria, kue anu klan samurai “ ( Kalau Fujiwara keren Za, bunga wisteria, itu klan Samurai ), Fadil juga ingat nama asli kakeknya Fujiwara Ichiki.

“Keren sih keren, tapi apa hubungannya sama kamu Dil ?”, Daiki mengomentari Fadil yang tiba-tiba bangga dengan nama Fujiwara.

“Kalau Shiozaki itu semenanjung garam....hehehehehe”, Reza berbisik kepada Fadil.

“Anake bakul uyah yah...hihihihihi “ ( Anaknya tukang jual garam yah ), Fadil berkomentar sambil tertawa ngikik.

“Huuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu.............”, Daiki kesal dan mengejar mereka.

Reza dan Fadil lari terbirit-birit dikejar oleh Daiki yang kesal. Mereka berlari hingga kelelahan dan akhirnya berhenti dan meminta maaf kepada Daiki. Daiki masih tetap saja kesal, namun ia tahu, bahwa namanya keluarganya kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia memang akan terdengar aneh.

==================

Sampailah mereka ke kuburan Jepang yang tadi mereka lewati, di sana para peziarah dari Jepang rupanya sedang istirahat sekaligus piknik gratis dengan duduk-duduk di tikar menikmati pemandangan hutan dan gunung yang indah.

“Dil, wong-wong desa Alaspeteng agi piknik kae” ( Dil, orang-orang desa Alaspeteng lagi piknik tuh ), Reza menunjuk para peziarah Jepang yang sedang beristirahat dan piknik di sekitar lokasi kuburan massal tentara Jepang itu, ketika mereka melewatinya.

“Hahaahaahahahaa...”, Reza, Fadil dan Daiki pun tertawa.

Beberapa orang Jepang memandangi mereka dan tak habis pikir dengan apa yang ditertawakan ketiga anak yang lewat itu. Mereka pun menjadi salah tingkah.

Pengarang : Zul Andika

Pemosting : Rizky Januar F


SUMBER : FANS PAGE BAHASA JEPANG ONLINE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iron Man Mark V