ATARASHII TOMODACHI / 新しい友達 ( TEMAN BARU ), SERI CERPEN REMAJA
Sinopsis : Inilah awal dari Reza dan Fadil belajar bahasa Jepang, setelah seorang teman baru yang pindah ke sekolah mereka. Berikut ceritanya.
Kelas 7 F adalah kelas Reza di SMP Islam Air Emas. Sudah sangat terkenal sekali, kelas ini akan sangat rame ketika guru belum datang. Suara-suara hewan akan terdengar dari kelas ini, ada suara ayam jago berkokok, suara bebek, suara ular, harimau, serigala, kambing, dinosaurus dan lainnya.
Begitu pula pagi itu, jam sudah menunjukkan pukul 07.07, namun Bu Nisa guru bahasa Indonesia belum juga masuk kelas. Maka suara gaduh, anak-anak saling bercanda, kapur dilempar-lempar, kejar-kejaran, dan juga suara kebun binatang pun keluar semua.
“Sssssstttt....Bu Nisa teka “ ( Bu Nisa datang ), Irfan mencoba menenangkan teman-temannya karena melihat bu Nisa sedang berjalan ke arah kelas itu.
Semua anak pun langsung duduk di tempat duduk masing-masing.
“Assalamualaikum wr wb”, Bu Nisa mengucapkan salam saat masuk kelas.
“Waalaikumus salam wr wb”, anak-anak menjawab serentak
“Anak-anak, coba tebak Ibu bawa apa??”, Bu Nisa menujukkan raut muka akan memberikan sebuah kejutan kepada muridnya.
“Buku Pelajaran Bahasa Zimbabwe bu”, jawab Taufik iseng.
“Aaaaaaahahahahahahhaaa”, serentak seluruh kelas tertawa.
“Ibu bawa teman baru buat kalian....”
“Ayo nak masuk, kenalan sama teman-teman baru mu “, terlihat Bu Nisa memanggil seseorang diluar pintu.
Seorang anak masuk kelas, dan serta merta seluruh mata di kelas tertuju ke arah anak itu. Penampilan anak itu istimewa, kulitnya putih, rambut lurus dengan poni menutupi jidad dan mata sipit.
“Sapa kae yah?”( Siapa itu yah ?), Fauzan penasaran
“Alah paling sedulure Reza, deleng kae matane sipit “( Alah, paling saudaranya Reza, lihat tuh matanya sipit ), Taufik mencoba menebak.
“Ayo nak perkenalkan namamu “, Bu Nisa meminta anak itu memperkenalkan nama. Anak itu mengangguk.
“Assalamualaikum wr wb”, anak itu membuka perkenalan dengan salam
“Waalaikumus salam wr wb...!!!!”, semua anak terutama yang laki-laki menjawab salam dengan semangat yang berapi-api dan suara sekeras-kerasnya.
“Mmmm...nama ... saya”, anak itu terlihat gugup
“Daiki....mmmm... Shiozaki Daiki / 塩崎大辉”
Seluruh kelas tiba-tiba menjadi hening....sepi...krik...krik...krik...
“Haahhh..jenenge sapa?, Sidodadi sapa?” ( Haahh...namanya siapa?, Sidodadi siapa ? ), Fauzan membuka suara.
“Sidodasi Kaidi “, Taufik ikut bicara.
“Kayane tah kie bocah asline sekang Sulawesi “ ( Kayaknya ini anak aslinya dari Sulawesi ), Fauzan sok tahu
“Nama saya Daiki Shiozaki, panggil saya Daiki saja, saya lahir di Chiba, Jepang, tapi besar di Jakarta, sekarang saya pindah ke kota ini dan bersekolah di sini, mohon bantuannya”, sesaat kemudian Daiki menunduk ala orang Jepang kepada teman-teman barunya.
Luar biasa anak Jepang ini, bahasa Indonesianya lancar dan fasih.
“Oooohhh cah Jepang, ati-ati koe Fik, engko dipenclas karo Katana “ ( Oooo anak Jepang, hati-hati kamu Fik, entar ditebas pakai katana ), Reza berkomentar kepada Taufik yang duduk di belakangnya.
“Woooo...tek lawan karo keris empu Gandrung Kasmaran koh “ ( Wooo...aku lawan pake keris mpu Gandrung Kasmaran ), Taufik sok jago sambil menunjukkan gerakan silat, padahal Taufik buta ilmu silat.
Meihat ada anak Jepang pindah ke sekolah mereka, dan masuk di kelas mereka, anak-anak ini pun terlihat senang. Bagi anak perempuan, tentu saja Daiki menjadi pemandangan indah tersendiri. Kini ada dua anak tampan di kelas mereka, yaitu Reza dan Daiki. Tapi kebanyakan dari mereka akan menahan pandangannya, untuk menjaga hatinya. Murid-murid SMP Islam Air Emas memang senantiasa dipahamkan bahwa Pacaran itu Haram.
Bu Nisa mempersilahkan Daiki untuk duduk sebangku dengan Reza, karena sudah seminggu Reza duduk sendirian, akibat teman satu bangkunya pindah. Reza pun senang bukan main, karena kini teman satu bangkunya seorang anak Jepang, muslim pula.
“Daiki...., nama yang bagus”, Reza tersenyum geli, ia ingat salah satu tokoh di Film Kamen Rider yang ia download di laptop, tokoh itu bernama Daiki Kaito yang merupakan pencuri.
“Terima kasih “, Daiki pun tersenyum, melihat keramahan Reza ia langsung betah di sekolah itu.
============
Mendengar ada anak Jepang di kelasnya Reza, Fadil segera berlari untuk melihatnya, ia ingin melihat seperti apa anak Jepang itu, maklum Fadil hanya melihat anak Jepang di film-film saja. Begitu pula dengan anak-anak lain di SMP Air Emas itu. Sehingga saat jam istirahat pertama itu, kelas 7 F dikerubungi oleh hampir semua anak se SMP.
“Daiki, emang kamu doyan makan makanan kita, kita biasa makan nasi lho di sini, dan di kantin enggak jual Spagheti, Pasta, dan lainnya”, Fauzan bertanya penasaran.
“Mbok wong Jepang mangane kurma “ ( Kayaknya orang Jepang makannya kurma ), Taufik semakin ngawur saja.
“Orang Jepang juga makan nasi kok”, Daiki tersenyum.
“Ooooo...”
“Kita tuh sama kaya kalian, makan nasi, di Jepang juga banyak sawah”, Daiki menjelaskan.
“Iya Zan, kamu sama orang Jepang itu gak beda lho, kalau orang Jepang sedikit-sedikit baca, kalau kamu sedikiit sekali bacanya”, Reza bercanda.
“Aaaahahahahahhahahaha....”, anak-anak tertawa
“Raimu kue kaya wong Jepang “ ( Muka loe tuh kaya orang Jepang ), Fauzan kesal
Hari itu kelas 7 F rame oleh anak-anak yang ingin melihat Daiki.
Sejak saat itu, Daiki si anak Jepang itu menjadi teman sebangku Reza. Sejujurnya Reza kagum dengan Daiki, etos belajarnya luar biasa. Daiki bisa mengerjakan soal dengan cepat dan tepat melebihi Reza yang membutuhkan waktu lebih lama. Reza, anak paling cerdas di kelas itu pun akhirnya mempunyai pesaing ketat yaitu teman sebangkunya.
Selain itu, kelakuan Daiki menurut Reza itu aneh, Daiki seperti orang-orang Jepang yang ia lihat di film Kamen Rider, yaitu lebay, dan suka narsis. Daiki suka mengupload foto apa saja tentang makanan di kantin ke Facebook, ada mendoan, bakwan, bakmi, rujak, cabe rawit dan lainnya, ia upload semua. Sepertinya dia sedang memamerkan makanan-makanan itu ke teman-temannya di Jepang. Reza hanya tersenyum geli melihat sahabat barunya ini, ia sudah cukup kenyang dengan kelakuan aneh Fadil, kini hadir Daiki sebagai teman barunya yang juga aneh menurutnya. Reza, Fadil dan Daiki, kini menjadi sahabat karibnya.
Kehadiran Daiki menyebabkan minat sholat di mushola sekolah meningkat, umumnya anak-anak ingin melihat Daiki sholat. Mereka akan berebutan untuk sholat di dekat Daiki. Tapi sejujurnya bagi Daiki, hanya Reza dan Fadil saja yang bisa berteman dekat dengannya, karena dua anak ini cukup disiplin, menghargai waktu dan selalu menepati janji dibandingkan anak-anak lainnya.
Daiki pun beberapa kali diajak Reza dan Fadil untuk bermain ke kampungnya. Ternyata Daiki baru tahu, kalau Reza dan Fadil rumahnya jauh di kampung, mereka biasa menempuh waktu kurang lebih setengah jam dari rumah ke sekolah. Daiki senang sekali diajak Reza dan Fadil berenang di sungai yang jernih, bersih dan segar, ternyata Daiki jago juga berenangnya. Akhirnya menjadi kebiasaan bagi Daiki ketika akan mengunjungi kampung Reza, akan membawa celana ganti. Karena pasti akan diajak berenang di sungai.
Pernah Daiki diajak Reza dan Fadil ke rumah Taufik, salah satu teman satu kelas Reza dan Daiki. Walaupun rumah Taufik di kampung, tapi lebih dekat dengan kota kabupaten, sekitar 10 menit dari Sekolah. Saat itu Taufik mengajak Daiki, Reza dan Fadil ke rumah neneknya. Daiki heran, kenapa neneknya Taufik selalu meletakkan sisa-sisa padi di sebuah lubang rahasia di sudut dapur, dan lubang itu akan ditutupi dengan kayu bakar. Daiki pun bertanya,
“kenapa sang nenek melakukan itu?”
Neneknya Taufik pun menjawab.
“Koe cah cilik ngerti apa hah, koe ora ngerti sengsarane jaman Penjajahan Jepang gemiyen, kiye gabah di sogna kene kue ben ora konangan nang wong Jepang, soale penjajah Jepang kue doyan sega lan seneng ngrampok gabah, nah nek jaman siki ya nggo jaga-jaga, sapa ngerti siki wong Jepange pada teka maning”
>>>artinya >>>> “ Kamu anak kecil tahu apa hah, kamu gak tahu betapa sengsaranya jaman Penjajahan Jepang dulu, ini gabah saya taruh di sini biar enggak ketahuan sama orang Jepang, soalnya orang Jepang itu doyan nasi dan suka merampok gabah kami, nah kalau jaman sekarang ya buat jaga-jaga, siapa tahu ada orang-orang Jepang yang datang lagi “, Neneknya Taufik menerangkan.
Kontan saja Reza, Fadil dan Taufik tertawa. Rupanya sudah menjadi tradisi bagi orang-orang tua di Desa Jatiteles yaitu menaruh sisa padi yang tidak diolah ke lubang rahasia, walaupun padi di situ juga tak mungkin bisa dimakan lagi karena dimakan kutu dan berjamur. Sebuah trauma sejarah yang menjadi tradisi rupanya.
Setelah mendengar terjemahan dalam bahasa Indonesia, Daiki yang biasanya ceria hanya terdiam, sepertinya anak ini sedikit tersinggung. Melihat sahabatnya seperti itu Reza pun mengajak mereka mengunjungi tempat lain. Reza dan Fadil sangat paham perasaan Daiki saat itu.
=====================
Minggu pagi itu, giliran Reza dan Fadil bermain ke rumah Daiki, kini tujuan mereka adalah belajar bahasa Jepang kepada Daiki. Reza dan Fadil ingin mempelajari bahasa ibu ( bahasa asli ) temannya ini, karena Daiki saja bisa bahasa Indonesia dengan sangat lancar, dan mulai bisa berbahasa Jawa. Selain itu melihat Daiki yang muslim, Reza dan Fadil bercita-cita mengislamkan orang Jepang.
“Wahh...Reza, Fadil, datang juga akhirnya, eh kita kan janjianya jam 9, kok kalian jam setengah 9 sudah datang”, Daiki terkejut dengan kedatangan dua sahabatnya ini.
“Hehe, ya kan kita janjiannya sama orang Jepang, jadi ya harus tepat waktu, kalau orang Jepang janjian jam 9, mereka datangnya jam 9 kurang 5 menit, maka kami datangnya jam setengah 9, keren kan?”. Reza menjawab penuh percaya diri.
Daiki hanya tertawa geli dengan sahabat-sahabatnya ini, karena saking ingin menghargai waktu melebihi orang Jepang, mereka datang sangat awal sekali dari waktu yang disepakati. Lalu ia mengajak mereka semua masuk ke rumahnya. Lalu Reza dan Fadil pun dikenalkan dengan ayahnya.
“Otousan, kochira wa Reza kun to Fadiru kun desu, boku no gakkou no tomodachi desu, kochira Reza kun, boku no jugyou no tomodachi desu / お父さん、こちらはレザくんとファヂルくんです、僕の学校の友達です、こちらレザくん、僕の授業の友達です” ( Ayah, ini Reza dan Fadil, teman sekolahku, ini Reza, teman sekelasku )
“Oooooo....suramato datan....Daiki serin cerita tentan karian, sirakan duduk.., mau minum apa ?”, ayahnya Daiki menyambut hangat Reza dan Fadil.
“Za, cah Jepang saru yah?, masa bapake dewek diceluk jenengane, Otousan, udu bapak, utawa bapak Otousan kaya kue “ ( Za, anak Jepang gak sopan yah?, masa ayahnya sendiri dipanggil namanya, Otousan, bukan bapak atau bapak Otousan gitu ), mulailah penyakit sok tahu Fadil kumat.
“Sssttt...”, Reza menyuruh Fadil diam.
“Teman-teman, ini ayahku, pak Shiozaki”, Daiki memperkenalkan ayahnya.
“Jenenge sing bener endi sih?, Otousan, apa Shiozaki sih?" ( Namanya yang bener mana sih?, Otousan apa Shiozaki sih?), Fadil malah bingung.
Mereka pun mengobrol dengan akrabnya. Sesaat kemudian terdengar dering ponsel ayah Daiki. Lalu ayah Daiki mengangkat telepon dari seseorang.
"Moshi-moshi......oooooo Kawanishi-san..".....ooo hahahaha.....ima doko desuka ?....., ayah Daiki menjawab telepon lalu keluar ke teras dan ngobrol dengan bahasa Jepang yang sama sekali tak dimengerti Reza dan Fadil.
“Za..., wong jawab telepon koh ngomonge emosi-emosi, mbok halo apa waalaikum salam, kaya kue “ ( Za..., orang jawab telepon kok ngomongnya “emosi-emos”i, bukannya pake halo atau waalaikum salam, gitu ), Fadil semakin sok tahu.
“Daiki, ajarin kami bahasa Jepang sekarang dong”, Reza sudah tak sabar untuk segera mempelajari bahasa yang ketiga, setelah bahasa Arab, Inggris, yaitu Bahasa Jepang.
“Oke, kita mulai dari mmmmm.... aisatsu, atau perkenalan”
Mulailah Reza dan Fadil dikenalkan dengan bahasa Jepang.
“Watashi wa Fadiru desu, Indoneshia jin desu / 私はファヂルです、インドネシア人です( Saya Fadil, orang Indonesia ), Fadil dan Reza mencoba berbicara dengan bahasa Jepang.
“Ternyata kita ini bangsa Jin ya Za, bukan manusia”, Fadil berkata ngawur.
Mereka terus belajar, dari cara membuat kalimat sampai pengenalan huruf, bahkan setelah dua jam belajar mereka sudah mulai dikenalkan dengan kanji. Reza dan Fadil adalah anak yang cukup cerdas, mereka dengan cepat menyerap pelajaran bahasa Jepang walaupun tanpa mencatatnya.
“Daiki, bahasa Jepangnya monyet apa?”, Fadil iseng bertanya.
“Saru.../ 猿”, Daiki menjawab singkat.
“Iya maaf kalau saya “saru”( saru = tidak sopan, bahasa Jawa ), saya Cuma tanya bahasa Jepangnya monyet apa?”
“Saru /猿”, Daiki berusaha menjawab lagi.
“Maaf, emang kalau menurut budaya Jepang, kalau tanya bahasa Jepangnya monyet itu gak sopan yah?, sampai kamu bilang “Saru” gitu, kan aku Cuma pingin tahu aja, bukan bermaksud saru, masa keingin tahuan harus terbentur masalah budaya, budaya itu kan kalau sesuai dengan Islam maka boleh dipertahankan, tapi kalau bertentangan dengan Islam, maka harus ditinggalkan, nah kalau Cuma tanya bahasa Jepangnya monyet, masa gak boleh, kayaknya gak bertentangan dengan Islam lho...”, Fadil malah ceramah.
Daiki bingung....
“Dil, bahasa Jepangnya monyet itu Saru, bukan kamu enggak sopan”, Reza segera maksud dengan omongan Daiki. Fadil memang suka aneh anaknya.
“Ooooo....gitu, ujarku aku sing saru..hehe” ( Ooo gitu, kirain saya yang saru / gak sopan ...hehe ).
“Hahahahahaha.....dasar anak saru....”,Reza dan Daiki menterawakan kepolosan temannya.
Setelah hari itu, Reza dan Fadil terus belajar bahasa Jepang di setiap ada kesempatan, saat jam istirahat sekolah, saat Daiki berkunjung ke rumah mereka, saat berenang di sungai, saat bermain bola sambil main hujan bersama teman-teman sekampung, saat berenang sambil main hujan di kolam ikan bekas milik Kyai Somad, saat naik sepeda berangkat atau sepulang sekolah, saat berangkat ngaji ke masjid, saat pulang selesai mengaji di Masjid, saat latihan silat setelah subuh di minggu pagi, saat membantu ibunya Reza memetik sayur kangkung di sungai kecil saat hujan yang harus dilakukan dengan cara berenang dan lain sebagainya. Mereka berdua juga menyisihkan uang jajannya untuk membeli Buku Pengantar Pelajaran Bahasa Jepang di toko buku.
Sebagai gantinya Reza dan Fadil mengajari Daiki membaca Al Quran dengan baik, dan juga membantu mengajarinya materi-materi bahasa Arab di sekolah.
“Weeiiiisss....ana cah Jepang nyasar” ( Weeeiiisss....ada anak Jepang nyasar ), saking seringnya Reza dan Fadil belajar bahasa Jepang, mereka sering diledek seperti itu oleh kawan-kawannnya di desa. Mungkin kawan-kawannya iri dan ingin belajar juga. Karena umumnya anak-anak di Desa Alaslintang ini selalu haus akan ilmu.
Dalam waktu singkat Reza dan Fadil bisa menguasai banyak materi bahasa Jepang. Daiki pun kagum dengan kecerdasan kedua temannya. Apalagi mereka bisa fasih mengucapkan beberapa kata-kata bahasa Jepang.
======================
Sehabis menaklukan 10 anak sekampung dalam adu cepat berenang di sungai sore itu, Reza dan Fadil segera memakai baju dan pulang, karena waktu sudah sore, dan mereka harus mandi lalu pergi mengaji ke Masjid.
Reza dan Fadil terus berjalan menuju rumahnya masing-masing. Saat mereka melewati rumah Mbah Langgeng, kakek Reza, Reza berhenti dan memperhatikan kakeknya yang sedang duduk melamun terkantuk-kantuk di beranda rumahnya. Entah apa yang kakeknya lamunkan, Reza tak tahu. Reza pun menghampiri kakeknya dan diikuti oleh Fadil.
Dengan muka ingin membuat keisengan Reza pun berkata kepada kakeknya,
“Ojiisan, nani o shite imasuka ? / お祖父さん、何をしていますか?”( Mbah, sedang melakukan apa? ), sambil Reza tersenyum-senyum bertanya dengan bahasa Jepang, Fadil tertawa lirih.
“Ojiisan, nani o shite imasuka ? / お祖父さん、何をしていますか?”( Mbah, lagi ngapain? ), Reza mengulangi pertanyaanya.
“Haahh...!!”, Mbah Langgeng terkejut dan melihat ada dua anak bercelana basah, berambut basah , bau sungai pula, berbicara dengannya dengan Bahasa Jepang.
“Reza...???”, Mbah Langgeng segera mengenali cucunya.
“Koko ni nemureba, byouki ni naru darou, Kaze ga oozei arukara yo/ ここ に ねむれば, 病気(びょうき) に なる だろう, 風(かぜ)が 大勢(おおぜい)あるからよ” ( Jika kakek tidur di sini, nanti akan sakit, karena di sini banyak angin ), Reza berbicara lagi.
“Rrreeezzzaaa........ Ni....Nihongo hanashimasuka ? / レザ、に。。。日本語話しますか?”( Reza, kamu bicara dalam bahasa Jepang ? ), sang kakek masih tidak percaya dengan kenyataan yang ia lihat, seperti mimpi saja.
“Hai...demo mada dame desu / はい。。。でもまだだめです” ( Iya...tapi masih belum lancar ), Reza merendah.
“Ojiisan, watashi ga Nihongo o oshiete kudasai / お祖父さん, 私が日本語を教えてください” ( Kakek, ajari aku bahasa Jepang ), Reza ingin kakeknya juga mengajarinya bahasa Jepang.
“Watashi mo, oshiete kudasai yo / 私も, 教えてくださいよ” ( Saya juga, ajari dong ), Fadil ikutan ngomong.
Mbah Langgeng tercengang dengan kenyataan itu, darimana cucunya ini belajar bahasa Jepang?, dan kini dengan polosnya mereka meminta diajari bahasa Jepang. Ia ingat janjinya kepada 9 rekannya dulu sesama tentara Jepang, yaitu untuk tidak akan mengajarkan bahasa Jepang kepada keturunannya. Hal itu tentu menjadi dilema sendiri baginya. Tapi realitanya cucunya kini menguasai bahasa itu, entah darimana dia belajar.
Tapi mau bagaimana lagi, bukankah dalam diri Reza dan Fadil juga mengalir darah Jepang. Reza adalah keturunan dari Yamaguchi Suichiro dari garis ayahnya dan keturunanya dari garis ibunya, sedangkan Fadil sendiri adalah keturunan dari Fujiwara Ichiki. Bukankah janji itu hanya digunakan karena khawatir keberadaan mereka diketahui oleh orang lain, sehingga bisa berbahaya bagi keselamatan mereka. Namun kenyataannya sekarang keadaan sudah aman, dendam atas penjajahan Jepang di Indonesia sudah lama terkubur dalam-dalam di hati bangsa Indonesia.
Akhirnya Takashima Eiji alias Mbah Langgeng pun menyetujui permintaan Reza dan Fadil. Sejak saat itu tak hanya Reza dan Fadil juga, tapi seluruh anak-anak kampung keturunan dari 10 tentara Jepang yang tinggal di desa itu dan juga anak-anak lain yang tertarik pun belajar bahasa Jepang kepada Mbah Langgeng.
Tapi yang jelas hati Mbah Langgeng sangat senang, ia selama ini merindukan kampung halamannya di Negeri Sakura sana, akhirnya terobati oleh Reza, cucunya sendiri dan Fadil temannya, rasanya ia sudah kembali ke Jepang, dimana anak-anak kecil berbicara lucu dalam bahasa Jepang.
Sedangkan Reza dan Fadil senang bukan main, karena kini dia tak lagi diledek “anak Jepang nyasar” oleh teman-teman di kampungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar